Inisiasi 1: Tuhan dan Ketuhanan Yang Maha Esa
Iman merupakan asas yang menentukan ragam kepribadian manusia. Selama ini orang memahami bahwa iman artinya kepercayaan atau sikap batin, yaitu mempercayai adanya Allah, Malaikat, Rasul, Kitab, Hari Akhir (kiamat), Takdir baik dan buruk. Pengertian tersebut jika digandengkan dengan hadis Nabi yaitu aqdun bil qalbi wa ikraarun bil lisaani wa amalun bil arkani maka pengertiannya akan lebih operasional. Jika didefinisikan bahwa iman adalah kepribadian yang mencerminkan suatu keterpaduan antara kalbu, ucapan dan perilaku menurut ketentuan Allah, yang disampaikan oleh Malaikat kepada Nabi Muhammad. Ketentuan Allah tersebut dibukukan dalam bentuk Kitab yaitu kumpulan wahyu, yang dikonkretkan dalam Al-quran guna mencapai tujuan yang hakiki yaitu bahagia dalam hidup, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Isi kitab tersebut adalah ketentuan tentang nilai-nilai kehidupan yang baik dan yang buruk berdasarkan parameter dari Allah.
Ada tiga aspek iman yaitu pengetahuan, kemauan dan kemampuan. Orang yang beriman kepada Allah adalah yang memiliki pengetahuan, kemauan dan kemampuan untuk hidup dengan ajaran Al-quran seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah. Oleh karena itu, prasyarat untuk mencapai iman adalah memahami kandungan Al-quran. Dengan demikian strategi untuk menumbuhkembangkan keimanan kepada Allah adalah menumbuhkembangkan kegiatan, belajar dan mengajar Al-quran secara akademik. Tujuan belajar dan mengajar adalah bukan sekedar mampu membunyikan hurufnya, melainkan sampai memahami makna yang terkandung di dalamnya.
Kuat lemahnya iman seseorang sangat tergantung pada penguasaannya terhadap Al-quran. Kekeliruan dan kedangkalan dalam memahami makna Al-quran merupakan faktor yang membuat dangkal atau keliru dalam beriman. Untuk itu belajar dan mengajar Al-quran harus dilakukan secara terjadwal dan berkelanjutan. Belajar Al-quran tidak hanya di waktu kecil, namun harus berkelanjutan sampai ajal tiba.
Konsep tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut pemikiran manusia, berbeda dengan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa menurut ajaran Islam. Konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia baik deisme, panteisme, maupun eklektisme, tidak memberikan tempat bagi ajaran Allah dalam kehidupan, dalam arti ajaran Allah tidak fungsional. Paham panteisme meyakini Tuhan berperan, namun yang berperan adalah Zat-Nya, bukan ajaran-Nya. Sedangkan konsep ketuhanan dalam Islam justru intinya adalah konsep ketuhanan secara fungsional. Maksudnya, fokus dari konsep ketuhanan dalam Islam adalah bagaimana memerankan ajaran Allah dalam memanfaatkan ciptaan-Nya.
Segala yang ada di alam semesta ini diciptakan oleh Yang Maha Pencipta (Khalik). Manusia yang diberi akal, ketika memperhatikan gejala dan fenomena alam akan mengambil kesimpulan bahwa alam yang menakjubkan ini tentulah diciptakan oleh Yang Maha Agung. Akal yang logis juga memahami bahwa yang dicipta tidak sama dengan Pencipta.
Makhluk, kecuali ada yang nyata dapat diketahui dengan pancaindra, ada pula yang immateri dan tidak dapat dijangkau oleh indera manusia. Keyakinan akan adanya makhluk ghaib itu, akan dapat menyampaikan kepada keimanan, juga terhadap Yang Maha Ghaib, yaitu Khalik Pencipta alam semesta ini.
Inisiasi 2: Hakikat, Martabat, dan Tanggung Jawab Manusia
Zat yang bersifat lahir dan gaib itu menentukan postur manusia sebagai makhluk yang paling sempurna. Manusia mempunyai anggota badan, khususnya otak dan jantung yang berfungsi sebagai mekanisme biologi, yaitu seperangkat subsistem di dalam sistem tubuh manusia untuk menunjukkan keberadaannya (eksistensinya).
Susunan anggota badan manusia (fisik) sebenarnya sangat kompleks, tidak hanya terdiri dari otak dan jantung saja, yang masing-masing anggota badan satu sama lain dihubungkan melalui susunan syaraf yang sangat kompleks pula. Keadaan itu pun masih menggambarkan manusia yang kurang lengkap, karena kelengkapan manusia tidak hanya dari wujud fisiknya saja, akan tetapi juga dari kenyataan nonfisik yang justru tidak dimiliki oleh makhluk lain. Seperti ruh dan jiwa yang memerankan adanya proses berpikir, merasa, bersikap dan berserah diri serta mengabdi yang merupakan mekanisme, kejiwaan manusia sebagai makhluk Allah.
Kedua mekanisme yang terdapat pada manusia, yaitu mekanisme biologi yang berpusat pada jantung (sebagai pusat hidup) dan mekanisme kejiwaan yang berpusat pada otak (otak sebagai lembaga pikir, rasa, dan sikap sebagai pusat kehidupan).
Gambaran bahwa manusia merupakan makhluk yang sempurna, mungkin dapat dilihat dari kemampuannya untuk menentukan tujuan hidup. Tujuan hidup itu berdasarkan satu tata nilai yang memberikan corak pada seluruh kehidupan manusia yang terdiri dari proses mengetahui, mengalami, memikirkan, merasakan, dan membentuk sikap tertentu yang akhirnya tersusun pada suatu pola perilaku yang dapat menghasilkan karya manusia, baik yang bersifat fisik maupun bersifat nonfisik. Tinggi rendahnya derajat kemampuan, sempit luasnya cakupan tergantung pada kapasitas otak (Q.S. Al-Mu'min (40) : 35), melalui pusat susunan syaraf (terletak pada sumsum tulang belakang) sehingga memungkinkan seluruh anggota badan berfungsi dalam rangka pencapaian cita-cita. Cita-cita tersebut sering kali diistilahkan dengan akhlakul karimah atau perilaku yang baik.
Manusia ialah makhluk yang utama dan terutama di antara semua makhluk yang ada. Keutamaan manusia dapat dilihat dengan adanya potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia, yang tidak terdapat pada makhluk lain. Dengan kelebihan itu manusia dijadikan sebagai khalifah Allah di bumi.
Kedudukan manusia sebagai khalifah Allah inilah, yang menjadikan mereka mempunyai sejumlah hak dan kewajiban. Hak di sini adalah suatu imbalan dari kewajiban-kewajiban yang telah ditunaikannya. Kewajiban dalam konteks dengan hukum Islam, berarti pekerjaan yang akan mendapat sanksi hukum apabila ditinggalkan.
Menurut kodratnya, manusia adalah makhluk yang paling mulia. Sesuai dengan namanya manusia adalah makhluk yang mempunyai naluri berperasaan, berkelompok, dan berpribadi. Selain itu manusia memiliki sifat pelupa atau cenderung memilih berbuat kesalahan. Dari sifat-sifatnya itu posisi manusia akan berbalik menjadi makhluk yang paling hina, bahkan lebih hina dari binatang.
Manusia diciptakan untuk mengelola dan memanfaatkan alam untuk mencapai kehidupan materi yang sejahtera dan bahagia di dunia, sekaligus dengan demikian ia dapat melaksanakan tugas beribadah kepada Pencipta untuk mencapai kebahagiaan immateri di akhirat kelak. Fungsi ganda manusia itu dikenal dalam istilah agama sebagai fungsi kekhalifahan dan kehambaan (untuk mengabdi dan beribadah).
Inisiasi 3 : Masyarakat Beradab, Peran Umat Beragama,HAM dan Demokrasi.
Masyarakat adalah sejumlah individu yang hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu,bergaul dalam jangka waktu yang lama sehingga menimbulkan kesadaran pada diri setiap anggotanya sebagai suatu kesatuan. Asal usul pembentukan masyarakat bermula dari fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa membutuhkan orang lain. Dari fitrah ini kemudian mereka berinteraksi satu sama lain dalam jangka waktu yang lama sehingga menimbulkan hubungan sosial yang pada gilirannya menumbuhkan kesadaran akan kesatuan. Untuk menjaga ketertiban daripada hubungan sosial itu, maka dibuatlah sebuah peraturan.
Dalam perkembangan berikutnya,seiring dengan berjumlahnya individu yang menjadi anggota tersebut dan perkembangan kebudayaan, masyarakat berkembang menjadi sesuatu yang kompleks. Maka muncullah lembaga sosial, kelompok sosial, kaidah-kaidah sosial sebagai struktur masyarakat dan proses sosial dan perubahan sosial sebagai dinamika masyarakat. Atas dasar itu, para ahli sosiologi menjelaskan masyarakat dari dua sudut: struktur dan dinamika.
Masyarakat beradab dan sejahtera dapat dikonseptualisasikan sebagai civil society atau masyarakat madani. Meskipun memeliki makna dan sejarah sendiri, tetapi keduanya, civil society dan masyarakat madani merujuk pada semangat yang sama sebagai sebuah masyarakat yang adil, terbuka, demokratis, sejahtera, dengan kesadaran ketuhanan yang tinggi yang diimplementasikan dalam kehidupan sosial.
Prinsip masyarakat beradab dan sejahtera (masyarakat madani) adalah keadilan sosial, egalitarianisme, pluralisme, supremasi hukum, dan pengawasan sosial. Keadilan sosial adalah tindakan adil terhadap setiap orang dan membebaskan segala penindasan. Egalitarianisme adalah kesamaan tanpa diskriminasi baik etnis, agama, suku, dll. Pluralisme adalah sikap menghormati kemajemukan dengan menerimanya secara tulus sebagai sebuah anugerah dan kebajikan. Supremasi hukum adalah menempatkan hukum di atas segalanya dan menetapkannya tanpa memandang “atas” dan “bawah”.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural di mana bangsa ini terdiri dari pelbagai macam suku, bahasa, etnis, agama, dll. meskipun plural, bangsa ini terikat oleh kesatuan kebangsaan akibat pengalaman yang sama: penjajahan yang pahit dan getir. Kesatuan kebangsaan itu dideklarasikan melalui Sumpah Pemuda 1928 yang menyatakan ikrar: satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia. Kesatuan kebangsaan momentum historisnya ada pada Pancasila ketika ia dijadikan sebagai falsafah dan ideologi negara. Jika dibandingkan, ia sama kedudukannya dengan Piagam Madinah. Keduanya, Pancasila dan Piagam Madinah merupakan platform bersama semua kelompok yang ada untuk mewujudkan cita-cita bersama, yakni masyarakat madani.
Salah satu pluralitas bangsa Indonesia adalah agama. Karena itu peran umat beragama dalam mewujudkan masyarakat madani sangat penting. Peran itu dapat dilakukan, antara lain, melalui dialog untuk mengikis kecurigaan dan menumbuhkan saling pengertian, melakukan studi-studi agama, menumbuhkan kesadaran pluralisme, dan menumbuhkan kesadaran untuk bersama-sama mewujudkan masyarakat madan.
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah wewenang manusia yang bersifat dasar sebagai manusia untuk mengerjakan, meninggalkan, memiliki, mempergunakan atau menuntut sesuatu baik yang bersifat materi maupun immateri. Secara historis, pandangan terhadap kemanusiaan di Barat bermula dari para pemikir Yunani Kuno yang menggagas humanisme. Pandangan humanisme, kemudian dipertegas kembali pada zaman Renaissance. Dari situ kemudian muncul pelbagai kesepakatan nasional maupun internasional mengenai penghormatan hak-hak asasi manusia. Puncaknya adalah ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan Declaration of Human Right, disusul oleh ketentuan-ketentuan lain untuk melengkapi naskah tersebut. Secara garis besar, hak asasi manusia berisi hak-hak dasar manusia yang harus dilindungi yang meliputi hak hidup, hak kebebasan, hak persamaan, hak mendapatkan keadilan, dll.
Jauh sebelum Barat mengonseptualisasikan hak asasi manusia, terutama, sejak masa Renaissance, Islam yang dibawa oleh Rasulullah telah mendasarkan hak asasi manusia dalam kitab sucinya. Beberapa ayat suci al-Qur’an banyak mengonfirmasi mengenai hak-hak tersebut: hak kebebasan, hak mendapat keadilan, hak kebebasan, hak mendapatkan keamanan, dll. Puncak komitmen terhadap hak asasi manusia dinyatakan dalam peristiwa haji Wada di mana Rasulullah berpesan mengenai hak hidup, hak perlindungan harta, dan hak kehormatan.
Sama halnya dengan hak asasi manusia, demokrasi yang berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, secara historis telah ada sejak zaman Yunani Kuno sebagai respons terhadap pemerintahan otoriter yang tidak menutup partisipasi rakyat dalam setiap keputusan-keputusan publik. Melalui sejarah yang panjang, sekarang demokrasi dipandang sebagai sistem pemerintahan terbaik yang harus dianut oleh semua negara untuk kebaikan rakyat yang direalisasikan melalui hak asasi manusia. Hak asasi manusia hanya bisa diwujudkan dalam suatu sistem yang demokrasi di mana semua warga memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara.
Sama halnya dengan hak asasi manusia, prinsip-prinsip demokrasi seperti kebebasan, persamaan, dll. terdapat juga dalam Islam. Beberapa ayat al-Qur’an mengonfirmasi prinsip-prinsip tersebut. Selain itu juga, praktik Rasulullah dalam memimpin Madinah menunjukkan sikapnya yang demokratis. Faktanya adalah kesepakatan Piagam Madinah yang lahir dari ruang kebebasan dan persamaan serta penghormatan hak-hak asasi manusia.
ETIKA
Pengertian Etika
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata 'etika' yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan.
Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000).
Biasanya bila kita mengalami kesulitan untuk memahami arti sebuah kata maka kita akan mencari arti kata tersebut dalam kamus. Tetapi ternyata tidak semua kamus mencantumkan arti dari sebuah kata secara lengkap. Hal tersebut dapat kita lihat dari perbandingan yang dilakukan oleh K. Bertens terhadap arti kata 'etika' yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama dengan Kamus Bahasa Indonesia yang baru. Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953 - mengutip dari Bertens,2000), etika mempunyai arti sebagai : "ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral)". Sedangkan kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 - mengutip dari Bertens 2000), mempunyai arti :
1. ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak);
2. kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
3. nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Dari perbadingan kedua kamus tersebut terlihat bahwa dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama hanya terdapat satu arti saja yaitu etika sebagai ilmu. Sedangkan Kamus Bahasa Indonesia yang baru memuat beberapa arti. Kalau kita misalnya sedang membaca sebuah kalimat di berita surat kabar "Dalam dunia bisnis etika merosot terus" maka kata ‘etika’ di sini bila dikaitkan dengan arti yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama tersebut tidak cocok karena maksud dari kata ‘etika’ dalam kalimat tersebut bukan etika sebagai ilmu melainkan ‘nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat’. Jadi arti kata ‘etika’ dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama tidak lengkap.
K. Bertens berpendapat bahwa arti kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut dapat lebih dipertajam dan susunan atau urutannya lebih baik dibalik, karena arti kata ke-3 lebih mendasar daripada arti kata ke-1. Sehingga arti dan susunannya menjadi seperti berikut :
1. nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Misalnya, jika orang berbicara tentang etika orang Jawa, etika agama Budha, etika Protestan dan sebagainya, maka yang dimaksudkan etika di sini bukan etika sebagai ilmu melainkan etika sebagai sistem nilai. Sistem nilai ini bisaberfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial.
2. kumpulan asas atau nilai moral.
Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Contoh : Kode Etik Jurnalistik
3. ilmu tentang yang baik atau buruk.
Pengertian MoralEtika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat dan sering kali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral.
Istilah Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata 'moral' yaitu mos sedangkan bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan, adat. Bila kita membandingkan dengan arti kata 'etika', maka secara etimologis, kata ’etika’ sama dengan kata ‘moral’ karena kedua kata tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan,adat. Dengan kata lain, kalau arti kata ’moral’ sama dengan kata ‘etika’, maka rumusan arti kata ‘moral’ adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan hanya bahasa asalnya saja yaitu 'etika' dari bahasa Yunani dan 'moral' dari bahasa Latin. Jadi bila kita mengatakan bahwa perbuatan pengedar narkotika itu tidak bermoral, maka kita menganggap perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau bila kita mengatakan bahwa pemerkosa itu bermoral bejat, artinya orang tersebut berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang tidak baik.
‘Moralitas’ (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan ‘moral’, hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara tentang "moralitas suatu perbuatan", artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya perbuatan tersebut. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.
Perbedaan Etiket dengan Etika
Perbedaan Etiket dengan Etika
K. Bertens dalam bukunya yang berjudul "Etika" (2000) memberikan 4 (empat) macam perbedaan etiket dengan etika, yaitu :
1. Etiket menyangkut cara (tata acara) suatu perbuatan harus dilakukan manusia. Misal : Ketika saya menyerahkan sesuatu kepada orang lain, saya harus menyerahkannya dengan menggunakan tangan kanan. Jika saya menyerahkannya dengan tangan kiri, maka saya dianggap melanggar etiket.
Etika menyangkut cara dilakukannya suatu perbuatan sekaligus memberi norma dari perbuatan itu sendiri. Misal : Dilarang mengambil barang milik orang lain tanpa izin karena mengambil barang milik orang lain tanpa izin sama artinya dengan mencuri. "Jangan mencuri" merupakan suatu norma etika. Di sini tidak dipersoalkan apakah pencuri tersebut mencuri dengan tangan kanan atau tangan kiri.
2. Etiket hanya berlaku dalam situasi dimana kita tidak seorang diri (ada orang lain di sekitar kita). Bila tidak ada orang lain di sekitar kita atau tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Misal : Saya sedang makan bersama bersama teman sambil meletakkan kaki saya di atas meja makan, maka saya dianggap melanggat etiket. Tetapi kalau saya sedang makan sendirian (tidak ada orang lain), maka saya tidak melanggar etiket jika saya makan dengan cara demikian.
Etika selalu berlaku, baik kita sedang sendiri atau bersama orang lain. Misal: Larangan mencuri selalu berlaku, baik sedang sendiri atau ada orang lain. Atau barang yang dipinjam selalu harus dikembalikan meskipun si empunya barang sudah lupa.
3. Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam satu kebudayaan, bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Misal : makan dengan tangan atau bersendawa waktu makan.
Etika bersifat absolut. "Jangan mencuri", "Jangan membunuh" merupakan prinsip-prinsip etika yang tidak bisa ditawar-tawar.
4.. Etiket memandang manusia dari segi lahiriah saja. Orang yang berpegang pada etiket bisa juga bersifat munafik. Misal : Bisa saja orang tampi sebagai "manusia berbulu ayam", dari luar sangan sopan dan halus, tapi di dalam penuh kebusukan.
Etika memandang manusia dari segi dalam. Orang yang etis tidak mungkin bersifat munafik, sebab orang yang bersikap etis pasti orang yang sungguh-sungguh baik. sumber : http://www.ut.ac.id/html/suplemen/ipem4430/index.html
Langganan:
Postingan (Atom)